Langsung ke konten utama

Metode Penafsiran Al-Quran

Metode Penafsiran Al-Quran

Munculnya corak-corak penafsiran Al-Qur’an di satu sisi berkaitan dengan dinamika keilmuan di kalangan umat Islam, dan di sisi lain bersinggungan dengan tantangan dari luar. Sebagai contoh (lihat: Quraish Shihab, 1992: 72-3; Husain adz-Dzahabi II, 1976: 632-3), corak sastra bahasa timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam serta kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an. Dalam hal ini Abu as-Su’ûd Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi menulis Irsyâd al-‘Aql as-Salîm Ilâ Mazâya al-Kitâb al-Karîm.

Kemudian corak fiqih atau hukum muncul akibat berkembangnya ilmu fiqih dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum Mewakili  corak ini Al-Imâm Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi (w. 671 H) menulis al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân.

Berikutnya corak teologi dan atau filsafat yang lahir  akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak dan masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam, yang dengan sadar atau tidak masih mempecayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Semuanya itu menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka. Dalam corak ini Qâdhi al-Qudhâh Abû Hasan ‘Abd al-Jabbâr (w. 415 h) menulis  Tanîzh Al-Qur’ân ‘an al-Mathâ’in.

Selanjutnya corak tasawuf sebagai respons atas timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Sebagai contoh, Abû Muhammad Ruzban ibn Abî an-Nash asy-Syirâzi (w. 666 H) menulis ‘Arâis al-Bayân fî Haqâiq Al-Qur’ân.

Corak berikutnya adalah penafsiran ilmiah, yang mencuat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufasir sendiri untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Di antara contohnya  Asy-Syaikh Thanthâwi Jauhari (w. 1358 H) menulis al-Jawâhir fî Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm.

Terakhir adalah corak sastra budaya kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan penyakit-penyakit atau masalah-masalah sosial berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tetapi indah didengar. Dalam corak ini As-Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ (w. 1354 H) menulis Tafsîr Al-Qur’ân al-Hakîm (Tafsîr Al-Manâr.

Tafsir dan Problem Zaman 

Masing-masing mufasir dengan berbagai coraknya telah berjasa menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan latar belakang masing-masing. Karena keragaman latar belakang para mufassir, baik dari segi disiplin ilmu, kecenderungan maupun latar belakang sosial budaya dan keragaman persoalan dan kebutuhan zaman, maka kitab-kitab tafsir yang muncul sepanjang waktu pun mempunyai aliran, corak dan warna yang berbeda-beda. Namun demikian, sekalipun terjadi keragaman, tidak berarti satu sama lain saling berbeda sepenuhnya. Ibarat lingkaran yang dipertautkan sambung bersambung, selalu ada bagian dua lingkaran yang menempati ruang yang sama. Bagian yang sama itulah yang akan menjadi benang merah dari seluruh  penafsiran.

Dengan referensi bermacam kitab tafsir sebelumnya, kita dapat merumuskan bagaimana menafsirkan Al-Qur’an yang tepat untuk zaman sekarang ini. Zaman yang ditandai dengan percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; zaman globalisasi yang tidak ada lagi sekat-sekat interaksi antar umat manusia, baik dari segi agama, budaya maupun aspek kehidupan yang lain. Zaman dengan  problema manusia dan kemanusiaan yang semakin kompleks.

Metode at-tafsîr bi al-ma’tsûr tetap relevan digunakan untuk memahami Al-Qur’an secara utuh, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan. Kita tidak dapat menafsirkan satu ayat yang berbicara tentang satu tema tanpa memahami terlebih  dahulu ayat-ayat lain dalam tema yang sama.

Demikian juga dengan Sunnah atau Hadits Nabi adalah bayân atau penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Tanpa Sunnah kita tidak akan dapat memahami Al-Qur’an secara utuh. Bahkan beberapa perintah dalam Al-Qur’an tidak dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah, seperti perintah shalat misalnya.

Penafsiran para sahabat, tabi’in dan tabi’i at-tabi’in–tiga generasi yang dekat jaraknya dengan Nabi–diperlukan untuk memahami ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah aqidah, ibadah mahdhah dan nilai-nilai (baik, buruk, terpuji, tercela) yang harus dijaga kemurniannya. Semakin dekat sumbernya dengan Rasulullah SAW, semakin terjaga kemurniannya. Tentu saja penggunaan metode at-tafsîr bi al-ma’tsûr harus dengan sikap kritis terhadap otentitas dan validitas periwayatannya.

Sikap kritis itu penting karena metode at-tafsîr bi al-ma’tsûr semata tidak cukup untuk menjawab problem zaman yang terus berkembang berdasarkan perspektif Al-Qur’an. Kekurangan ini harus dilengkapi dengan metode at-tafsîr bi ar-ra’yi. Ibarat pabrik, at-tafsîr bi al-ma’tsûr adalah bahan-bahan mentah yang harus  diolah dan dan dikembangkan dengan temuan-temuan baru dan yang terbaru.

Contoh Pendekatan

Pertama kali dilakukan analisis bahasa, tidak hanya sekadar balaghah-nya, tapi juga sampai kepada filsafat bahasa atau fiqh lughah. Pendekatan bahasa digunakan di samping untuk menghindari kesalahpahaman juga untuk pendalaman makna. Misalnya dalam menafsirkan ayat qâlu thâirukum ma’akum (Q.s. 36:19), kata thâir kalau dilihat dalam kamus berarti burung. Mufasir tidak akan dapat memahami kalimat tersebut kalau tidak mengerti filsafat bahasa mengenai kata “burung” yang digunakan bangsa Arab sebelum Islam.

Masyarakat Arab sebelum Islam mempunyai tradisi untuk meramalkan keberuntungan dalam perjalanan dengan melepas seekor burung ke udara. Bila burung itu terbang ke kanan, maka alamat perjalannya beruntung. Demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu untuk mendo`akan orang-orang yang bepergian jauh, mereka menguncapkan `ala at-thâir al-maimûn (semoga burungnya terbang ke kanan). Ucapan itu berisi do`a keselamatan dan keberuntungan dalam perjalanan.

Dengan demikian kata thâir  dalam ayat tersebut harus diartikan dalam konteks filsafat bahasa tersebut, yaitu kemalangan atau keberuntungan. Karena sifatnya menjawab tuduhan orang-orang kafir bahwa yang menyebabkan kemalangan mereka adalah kehadiran utusan Tuhan di tengah-tengah mereka, sehingga  redaksi  jawabannya berbunyi: “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri.”

Setelah analisis bahasa, kemudian ditinjau latar belakang sejarah turunnya ayat, baik latar belakang langsung maupun tidak langsung. Yang pertama populer disebut asbâb an- nuzûl. Dengan asbâb an- nuzûl dapat dipahami makna ayat secara tepat. Tanpa memahami asbâb an- nuzûl, maka dapat terjadi kekeliruan penafsiran. Misanya dalam menafsirkan ayat tentang sa`i dari Shafa ke Marwah, “Sesugguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. 2:158)

Dengan melihat ayat tersebut saja timbul pertanyaan, mengapa sa`i   dimasukkan ke dalam salah satu rukun haji? Padahal dalam ayat itu Allah cuma mengatakan “tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i.”  Kalau redaksinya seperti itu mestinya sa`i itu tidak menjadi rukun, tidak wajib dan tidak pula sunnah, paling tinggi mubah.

Pertanyaan tersebut akan terjawab dengan membaca keterangan dari Ummu al-Mu’minin ‘Aisyah R.A. bahwa sebelum Islam beberapa suku di Madinah kalau ziarah ke Mekkah meletakkan berhala-berhala mereka di kedua bukit itu, sehingga pada waktu melaksanakan ibadah haji mereka enggan melakukan sa’i dari dua bukit kecil itu. Lalu untuk menghilangkan keraguan itu Allah menurunkan ayat di atas. Jadi kalimat “tidak ada dosa baginya” bukan ditujukan kepada perbuatan sa’inya tapi kepada tempatnya yaitu Shafa dan Marwah. (Lihart: Ibn Jarir at-Thabari II, 1984: 45-6).

Setelah melihat latar belakang langsung (mikro) dilihat juga latar belakang tidak langsung (makro), yaitu latar belakang sosial-budaya masyarakat pada waktu ayat tersebut diturunkan, baik di Jazirah Arabia sendiri maupun di tempat lain, terutama untuk memahami konteks sosial budaya masyarakat pada saat ayat itu diturunkan. Namun demikian, keseimbangan antara tekstual dan kontekstual dalam menafsirkan ayat-ayat yang memang ada konteks sosial budayanya harus dijaga. Meminjam istilah Asghar Ali Engineer (1994: 55), ayat-ayat Al-Qur’an hendaklah didekati dengan pendekatan sosio-teologis, bukan dengan teologis semata-mata.  Misalnya dalam memahami ayat-ayat tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Menurut Fazlur Rahman (1987: 55-6), di samping memperhatikan konteks sosial tatkala ayat tersebut diturunkan, juga perlu dihubungkan dengan konteks sosial kekinian. Pendekatan Rahman ini dikenal dengan  pendekatan historis.  Dengan pendekatan ini Rahman mencoba berusaha memisahkan pesan-pesan moral dari legal formal. Untuk ayat-ayat hukum yang menyangkut aspek mu’amalat yang lebih elastis dan fleksibel, pendekatan Rahman ini dapat digunakan. Tetapi tidak untuk ayat-ayat hukum yang menyangkut ibadah mahdhah dan hukum keluarga, karena untuk ayat-ayat seperti ini–yang tidak elastis dan fleksibel—legal formal harus dipertahankan untuk menjaga kemurnian ajaran agama Islam.

Penutup

Ala kulli hâl, yang perlu ditegaskan dalam kesempatan ini, bahwa antara pendekatan tekstual dan kontekstual tidak perlu dipertentangkan. Kedua-duanya diperlukan, ada ayat-ayat yang harus dan cukup dipahami secara tekstual apa adanya, tetapi ada juga ayat-ayat yang tidak boleh tidak harus dilihat konteksnya. Tidak semua pendekatan tekstual salah, sebagaimana juga tidak semua pendekatan kontekstual benar. Masing masing ada tempatnya sendiri-sendiri.

Dari segi sistematika, metode yang tepat untuk saat sekarang ini adalah tafsir maudhu’i atau tematis, bukan tahlili atau kronologis. Metode tematis dipilih untuk dapat memahami pesan-pesan Al-Qur’an secara mudah dalam aspek tertentu. Manusia abad XXI rasanya tidak punya waktu cukup untuk menelaaah tafsir secara kronologis, padahal mereka membutuhkan bimbingan. Mereka butuh bimbingan Al-Qur’an dalam aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan lain sebagainya.

Tafsir tematis mungkin dilakukan oleh pakar yang menguasai ilmu tafsir dan ilmu-ilmu syar’iyyah lainnya serta menguasai juga bidang-bidang atau disiplin tertentu sesuai dengan tema. Karena sulitnya menemukan pakar dengan kualifikasi seperti itu, maka yang paling memungkinkan adalah kerja kolektif melibatkan pakar-pakar multi disiplin.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa Ketika Ada Petir

Muslimah Cantik Indonesia, Di musim penghujan seperti ini geledek, petir dan halilintar seringkali muncul tak terduga. Seperti datangnya hujan yang tak terkira. Sebagian orang mengatakan bahwa hujan adalah petanda turunnya rahmat. Karena air itu sendiri merupakan unsur terpenting dalam kehidupan. Akan tetapi jikalau volume air diluar kemampuan daya tampung maka tak ayal lagi air hujan berubah menjadi suatu hal yang menghawatirkan. . Kekhawatiran itu tidak hanya karena air hujan, tetapi juga dampak yang setelahnya. Masuk angin, badan meriang, banjir dan lain sebagainya. Akan tetapi kekhawatiran itu masih bersifat praduga adanya. Berbeda dengan kekhawatiran yang timbul akibat datanya geledek ataupun petir yang diawali dengan secercah cahaya menyilaukan. Biasanya orang-orang lantas berkomat-kamit menyebut dan berdoa. Adapun doa yang sesuai dengan kondisi ini adalah: . اَلًلهُمَ لا تقتلنا بغضبك ولا تهلكنا بعذابك وعافنا قبل ذلك . Allahumma la taqtulna bighadhabika wala tuhlikna bi’adzabika ...

Jangan Menghina Pemimpin, Walau Dia Buruk • Aulia Izzatunisa

#Jangan Menghina Pemimpin MU !!! Tahu kah anda bahwa pemimpin itu cerminan dari Rakyatnya.. Allah ﷻ berfirman yang artinya; “Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” [QS. Al An’am : 129] Apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezholiman seorang pemimpin, maka hendaklah mereka meninggalkan kezholiman. (Syarh Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 381, Darul ‘Aqidah). Rasulullah ﷺ telah berpesan kepada kita umat akhir zaman; “Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. [HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih]. Beliau ﷺ  juga bersabda, “Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen...

Kisah Nabi Yunus ‘Alaihissalam

Kisah Nabi Yunus ‘Alaihissalam Di daerah Mosul, Irak, terdapat sebuah kampung bernama Ninawa yang penduduknya berpaling dari jalan Allah yang lurus dan malah menyembah patung dan berhala. Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin memberikan petunjuk kepada mereka dan mengembalikan mereka ke jalan yang lurus, maka Dia mengutus Nabi Yunus ‘alaihissalam untuk mengajak mereka beriman dan meninggalkan sesembahan selain Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi mereka menolak beriman kepada Allah dan tetap memilih menyembah patung dan berhala. Mereka lebih memilih kekafiran dan kesesatan daripada keimanan dan petunjuk, mereka mendustakan Nabi Yunus ‘alaihissalam, mengolok-olok dan menghinanya. Maka Nabi Yunus pun marah kepada kaumnya dan tidak berharap lagi terhadap keimanan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mewahyukan kepada Yunus untuk memberitahukan kaumnya, bahwa Allah akan mengadzab mereka karena sikap mereka itu setelah berlalu tiga hari. Lalu Nabi Yunus menyampaikan perihal adzab itu kepada kaumnya...

Akhirat

Apakah akhirat itu benar-benar akhir kehidupan? Dan tidak ada lagi kematian setelah itu? . Setiap manusia akan menghadapi lima tahapan kehidupan yaitu mulai dari [1] sesuatu yang tidak ada, kemudian [2] berada dalam kandungan, kemudian [3] berada di alam dunia, kemudian [4] memasuki alam barzakh (alam kubur) dan terakhir [5] memasuki kehidupan akhirat. Dan hari akhir inilah tahapan akhir kehidupan manusia. (Lihat Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah, Ibnu Utsaimin, 352) . Benarkah tidak ada kematian di akhirat? Ya, Kita kekal di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Subhanahuwata'ala : “Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada l...

Doa Paling Utama Dan Afdhol

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Do'a yang paling utama adalah do'a pada hari Arafah, dan do'a paling afdlal yang pernah aku dan para nabi sebelumku adalah: "LAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU' (Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya) ." (HR. Malik) IG : @islam_nasehat Blog : www.islam-nasehat.tk

Hadits Ahmad No. 10918

"Kalian mengira bahwa hubungan kekerabatanku tidak bisa memberi manfaat untuk kaumku, demi Allah sesungguhnya hubungan kekerabatanku akan tetap bersambung di dunia dan di akhirat. Maka pada hari kiamat kelak didatangkan kepadaku suatu kaum yang diperintahkan untuk bergabung bersama dzatal yasar (golongan kiri yang akan masuk ke dalam neraka, pent) lalu seorang laki-laki berkata; '"Wahai Muhammad, saya fulan bin fulan, ' dan yang lain berkata; 'Wahai Muhammad saya adalah fulan bin fulan, ' maka aku katakan; 'Adapun masalah nasab aku telah mengetahuinya, akan tetapi kalian telah melakukan sesuatu yang baru dan murtad kembali kepada kekafiran sepeninggalku.'" (HR. Ahmad: 10918)

Kisah Nabi Syu’aib ‘Alaihissalam

Kisah Nabi Syu’aib ‘Alaihissalam Nabi Syu’aib ‘alaihissalam tinggal di kota Madyan yang letaknya di Yordania sekarang. Ketika itu, masyarakatnya kafir kepada Allah dan melakukan berbagai kemaksiatan, seperti membajak dan merampas harta manusia yang melintasi mereka. Mereka juga menyembah pohon lebat yang disebut Aikah. Mereka bermuamalah buruk dengan manusia, menipu dalam melakukan jual beli dan mengurangi takaran dan timbangan. Maka Allah mengutus kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka bernama Nabi Syu’aib ‘alaihissalam. Beliau mengajak mereka beribadah kepada Allah dan tidak berbuat syirik, melarang mereka mengurangi takaran dan timbangan serta melarang melakukan pembajakan, dan melarang berbuat buruk lainnya. Nabi Syu’ab ‘alaihissalam berkata kepada mereka, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan yang berhak disembah bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganl...

Hak Suami Atas Istri

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Seorang wanita tidak boleh berpuasa ketika suaminya ada (di rumah) tanpa seizinnya, kecuali puasa ramadlan. (HR. Ibnu Majah)

JANGAN TERPEDAYA DENGAN GEMERLAP DUNIA

Bismillah JANGAN TERPEDAYA DENGAN GEMERLAP DUNIA.. !! رَغِيْفُ خُبْزٍ يَابِسٍ = تَأْكُلُهُ فِي زَاوِيَةْ “Sepotong roti kering yang engkau makan di pojokan….” وَكُوْزُ ماءٍ باردٍ = تَشْرَبُهُ مِنْ صَافِيَةْ “Dan secangkir air dingin yang kau minum dari mata air yang jernih….” وَغُرْفَةٌ ضَيِّقَةٌ = نَفْسُك...

Makanan Jin

T elah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Yahya bin Sa'id berkata, telah mengabarkan kepadaku kakekku dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, bahwa dia pernah membawakan sebuah kantung air terbuat dari kulit untuk wudlu' dan hajat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan dia mengikuti beliau dengan membawa kantung air tersebut, beliau bertanya: "Siapakah ini?". Ia menjawab; "Saya Abu Hurairah". Maka beliau berkata: "Carikanlah aku beberapa batu untuk aku gunakan sebagai alat bersuci dan jangan bawakan aku tulang dan kotoran hewan". Kemudian aku datang dengan membawa beberapa batu dengan menggunakan ujung bajuku dan meletakkannya di samping beliau. Kemudian aku pergi. Ketika beliau telah selesai, aku berjalan bersama beliau bertanya; "kenapa dengan tulang dan kotoran hewan?". Beliau menjawab: "Keduanya termasuk makanan jin. Dan sesungguhnya pernah datang kepadaku utusan jin da...