Langsung ke konten utama

Panduan Tata Cara Lengkap Dari Wudhu Sampai Sholat Menurut Rasulullah Dalam Quran Dan Hadits





Panduan Tata Cara Lengkap Dari Wudhu Sampai Sholat Menurut Rasulullah Dalam Quran Dan Hadits


Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.

Kedudukan wudhu dalam sholat

Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah mengetahuinya bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena suatu hal yang telah menjadi konsekwensi dari dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Demikian juga telah masyhur bagi kita bahwa wudhu merupakan syarat sah sholat[1], yang mana jika syarat tidak terpenuhi maka tidak akan teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut. Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam,

« لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ »

“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu”.[2]

Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita dalam KitabNya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk mempelajari shifat/tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.

Pengertian wudhu

Secara bahasa wudhu berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu untuk sholat dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan memperindahnya[3]. Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari’at, wudhu adalah peribadatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan mencuci empat anggota wudhu[4] dengan tata cara tertentu. Jika pengertian ini telah dipahami maka kita akan mulai pembahasan tentang syarat, hal-hal wajib dan sunnah dalam wudhu secara ringkas.

Tata Cara Wudhu secara Global

Adapun tata cara wudhu secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari Humroon budak sahabat Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu[5],

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِى الْوَضُوءِ ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ ، وَاسْتَنْشَقَ ، وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ، ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلاَثًا ، ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا وَقَالَ « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Humroon -bekas budak Utsman bin Affan–, suatu ketika ‘Utsman memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian ia tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali sajapent.) kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu yang semisal ini dan beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu dengan wudhu semisal ini kemudian sholat 2 roka’at (dengan khusyuked.)dan ia tidak berbicara di antara wudhu dan sholatnya[6] maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”[7].

Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai berikut[8],

- Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadats.

- Mengucapkan basmalah (bacaan bismillah).

- Membasuh dua telapak tangan sebanyak 3 kali.

- Mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung untuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung). Kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3 kali.

- Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot sebanyak 3 kali.

- Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan yang kiri.

- Menyapu seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu ditarik lagi ke depan, dilakukan sebanyak 1 kali, dilanjutkan menyapu bagian luar dan dalam telinga sebanyak 1 kali.

- Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.

Syarat-Syarat Wudhu [9]

Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat wudhu ada tujuh[10], yaitu

Islam,
Berakal,
Tamyiz[11],
Berniat[12], (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut[13],pent.)
Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara yang haram,
Telah beristinja’[14] & istijmar[15] lebih dulu (jika sebelumnya memiliki keharusan untuk istinja’ dan istijmar dari hadats),
Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.
Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah ma’ruf dikalangan kaum muslimin.

Wajib Wudhu

- Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi was sallam,
« لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ »

“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu”.[16]

- Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar[17]. Para ‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah mulai dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas kiri kanan adalah telinga[*][18].

Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana yang dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah, “Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke ujungnya, sedangkan istintsar adalah kebalikannya”[19]. Dalil tentang hal ini sebagaimana yang firman Allah ‘azza wa jalla,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh[20] perintah dalam perkara ibadah memberikan konsekwensi wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang memerintahkan kita untuk membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari wajah. Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ »

“Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya dengan air kemudian beristintsarlah”.[21]

Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ »

“Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah”[22].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah mengatakan, “Cara berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar”.[23]

- Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ

وَقَالَ « هَكَذَا أَمَرَنِى رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ »

“Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallampent. ) jika beliau akan berwudhu, beliau mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnyapent) sampai ketenggorokannya kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku”[24].

Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[25].

- Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا »

“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali”[26].

- Menyapu[27] kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian kepala[28]. Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

“Dan sapulah kepalamu”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini diklaim ijma’ oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah[29]. Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ »

“Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan tangannya,(dengan carapent.) menyapunya ke depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya ditarik ke belakang sampai ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya”[30].

Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala[31] yang Allah perintahkan dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian kepala yang dihusap dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut[32] dan inilah pendapat Al Imam Malik rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam Al Bukhori rohimahullah sebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan dalil bahwa menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu was salam,

« الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ »

“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[33]

Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ بَاطِنِهِمَا بِالسَّبَّاحَتَيْنِ وَظَاهِرِهِمَا بِإِبْهَامَيْهِ »

“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi luarnya dengan kedua jempolnya”.[34]

Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan dinukil oleh Al Bukhori rohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin Musayyib rohimahullah [35].

- Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”.

(QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ »

“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki”[36].

Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk perintah, dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara membasuhnya adalah sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,

« إِذَا تَوَضَّأَ دَلَكَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ بِخِنْصَرِهِ »

“Jika beliau shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua kakinya dengan dengan jari kelingkingnya”[37].

Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah, namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah[38].

- Muwalah

Muwalah[39] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh pent.) mengering dalam kondisi/waktu normal[40].

Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat inipent.) merupakan suatu yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan[41]. Adapun dalil dari Sunnah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan tidak memisahkan membasuh anggota wudhu (yang satu dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu

أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى

“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh sebesar kuku pada kakinya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhupent.) perbaguslah wudhumu”.[42]

Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dar beliau[43].

Sunnah Wudhu

- Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ »

“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap hendak berwudhu”[45].

- Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih ditekankan ketika bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang menunjukkan bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ….. ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا

Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali……kemudian beliau berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini”[46].

Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu ‘anhu melakukannya karena melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melakukannya. Semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang dicontoh para sahabat menunjukkan hukum anjuran atau sunnah[47]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika bangun dari tidur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

«وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وَضُوئِهِ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ »

“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam”.

Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum? Maka jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika ia tidur. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah, demikian juga mayoritas ‘ulama[48].

- Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-kumur ketika tidak sedang berpuasa[49]. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا »

“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[50].

- Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِى طُهُورِهِ إِذَا تَطَهَّرَ »

“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan kanan dalam thoharoh (berwudhupent.)”[51].

- Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Zaid,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota wudhunya sebanyakpent.) dua kali-dua kali.[52]”

Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang diriwayatkan Humroon dari tentang wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ…. ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا…

Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak 3 kali…kemudian dia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[53]

Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan salah satu riwayat hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga dalam shohihain,

ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً

“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah depan dan belakang sebanyak 1 kali”[54].

Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali[55], namun hal ini dianjurkan dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits yang diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ هَكَذَا

Beliau (Utsman bin Affan pent.)menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian beliau berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti ini”[56].

- Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya (urutan yang ada dalam ayat wudhu pent.)[57]. Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindiy rodhiyallahu ‘anhu,
أُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا

“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian luar maupun dalam”[58].

Berdo’a ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوُضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ ».

“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian membaca, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[59].

At Tirmidzi menambahkan lafafdz,

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk orang-orang yang selalu mensucikan diri”[60].

Sholat dua raka’at setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »

“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka’at (dengan khusyuked.) setelahnya dan ia tidak berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah lalu”[62].

Demikianlah akhir tulisan ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan ‘amal dan sebagai tambahan ilmu bagi pembaca sekalian serta berbuah ‘amal bagi kita semua. Allahu a’lam bish showab



[1] Bahkan hal ini diklaim ijma’oleh An Nawawi rohimahullah [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 98/III cetakan Darul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa]

[2] HR. Bukhori no. 135, Muslim no. 225.

[3] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 95/III. Hal senada juga dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah dalam Fathul Baari hal. 214/I.

[4] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah mengatakan, “Penyebut empat anggota wudhu dalam hal ini hanyalah maksudnya adalah penyebutan sebagian namum yang diinginkan adalah seluruh anggota wudhu”. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 110/I, terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.]Atau bisa kita katakan sebagai majas part pro toto dalam istilah bahasa Indonesia.

[5] Hadits ini merupakan salah satu hadits pokok dalam masalah tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.

[6] Akan datang penjelasannya insya Allah.

[7] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.

[8] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin Sayyid Salim hal. 111/I, terbitan Maktabah Tauqifiyah.

[9] Kami menempuh cara menulis seperti ini (membedakan mana perkara yang sunnah dan wajib) bukanlah berarti tidak ingin meniru wudhu Nabi secara menyeluruh akan tetapi agar ‘amal kita bisa memiliki nilai tambah jika berhadapan dua hal yang sama-sama baik, misalnya hal yang wajib dan sunnah ataupun 2 hal yang sunnah namun salah satu lebih ditekankan. Allahu A’lam.

[10] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal. 24 oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.

[11] Tolak ukur tamyiz adalah sebagaimana yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah berumur 7 tahun dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 495 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[12] Yang kami maksudkan dengan niat adalah azam/keinginan yang ada dalam hati untuk berwuhu karena ingin melaksanakan perintah Allah dan RosullNya shallallahu ‘alaihi was sallam, Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin, semisal dalam ibadah thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain-lain. Seandainya ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di lisannya”.[lihat Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah, dengan tahqiq Husnain Muhammad Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon]. yang senada juga dikatakan oleh Al Imam An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah lihat Qowaid wa Fawaid minal ‘Arbain An Nawawiyah oleh Syaikh Nadzim Muhammad Shulthon hal. 30 cetakan Darul Hijroh, Riyadh, KSA demikian juga beliau isyaratkan dalam Kitabnya At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an hal. 50 dengan tahqiq dari Syaikh Abu Abdillah Ahmad bin Ibrohim Abul ‘Ainain cetakan Maktabah Ibnu Abbas Kairo, Mesir. Mudah-mudahan dengan penjelasan ringkas ini pembaca bisa memahami defenisi niat yang benar.

[13] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 127/I

[14] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan air. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 69/I ]

[15] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan tiga buah batu atau dengan selainnya [lihat Manjaahus Salikin oleh Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’diy rohimahullah hal. 38 cetakan Darul Wathon, Riyadh, KSA].

[16] HR. Ibnu Hibban no. 399, At Tirmidzi no. 26, Abu Dawud no. 101, Al Hakim no. 7000, Ad Daruquthni no. 232. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam Shohihul Jami’ no. 7514, bahkan Syaikh Abu Ishaq Al Huwainiy membuat satu juz (kitab yang khusus membahas satu hadits) dan beliau menshohihkan hadits ini. Akan tetapi status hadits ini diperselisihkan para ulama di antara yang mendhoifkannya ‘Ali bin Abu Bakr Al Haitsami rohimahullah dalam Majmu’ Az Zawaid hal. 780/IX terbitan Darul Fikr, Beirut dan penulis Shohih Fiqhis Sunnah dalam takhrij beliau untuk hadits ini.

[17] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.

[18] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 131-132/I, dan tambahan dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 113/I.

[19] Lihat Fathul Baari hal. 78/X.

[20] Lihat Mandzumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 103 cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh,KSA.

[21] HR. Muslim no. 237.

[22] HR. Abu Dawud no. 144, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij Beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[23] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah hal. 10/I cetakan Ghiroos, Kuwait.

[24] HR. Abu Dawud no. 145, Al Baihaqi no. 250 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 92.

[25] Lihat tanda [*] dalam tulisan ini.

[26] HR. Bukhori no. 1832 dan Muslim no. 226.

[27] Perbedaan antara menghapus/menyapu dan membasuh adalah bahwa pada menghapus/menyapu tidak ada mengalirkan air ke tempat yang akan dihapus namun cukup dengan membasahi tangan dengan air dan menyapukan tangan tersebut ke kepala. [Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 116/I.]

[28] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.

[29] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 102/III.

[30] HR. Bukhori no. 185, Muslim 235.

[31] Namun merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam juga membasuhnya dari arah belakang ke depan. Sebagaimana akan kami cantumkan haditsnya dalam pokok bahasan Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali dalam tulisan ini insya Allah ta’ala.

[32] Lihat penjelasan masalah ini di Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 117/I.

[33] HR. Abu Dawud no.134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 478, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani rahmatullah ‘alaihi dalam Ash Shohihah no. 36. Lihat juga penjelasan tentang takhrij hadits ini dalam Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 206/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA. Di sini muhaqqiq kitab ini menjelaskan panjang lebar tentang hadits ini yang kesimpulannya hadits ini shohih.

[34] HR. An Nasa’i no. 102, dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Nasa’i.

[35] [lihat Al Majmu’ oleh An Nawawi rohimahullah hal. 409/I Asy Syamilah]. Dan hal ini sesuai dengan kaidah fiqh keumuman hukum dalam syari’at antara laki-laki dan perempuan selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya pada salah satu dari keduanya, [lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jaizaniy hafidzahullah hal. 418, cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA].

[36] HR. Bukhori no. 185, Muslim no. 235.

[37] HR. Tirmidzi no. 40, Abu Dawud no. 148, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.

[38] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 196/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.

[39] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.

[40] Dalam kondisi/waktu normal maksudnya adalah jika tidak ada angin yang berhembus, dalam kondisi cuaca yang sangat panas (sehingga air wudhu dengan cepat mengering), atau sangat dingin. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 120/I.]

[41] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 119/I.

[42] HR. Mulsim no. 243.

[43] Lihat dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.

[44] Al Amir Ash Shon’ani rohimahullah mengatakan, “Siwak yang dimaksud dalam istilah para ulama adalah penggunaan potongan kayu atau selainnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran kuning pada mulut”. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 175/I].

[45] HR. Tirmidzi no. 22, Abu Dawud no. 37, dinilai shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.

[46] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.

[47] Lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 124.

[48] Lihat Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom oleh Syaikh Abullah Alu Bassaam rohimahullah hal. 215/I cetakan Maktabah Sawaadiy, Mekkah, KSA.

[49] Lihat penjelasan mengapa perintah di sini tidak dimaknai wajib di Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom hal. 218/I.

[50] HR. Abu Dawud no. 2368, Al Hakim no. 525 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud demikian juga Adz Dzahabi.

[51] HR. Bukhori 168, Muslim no. 268.

[52] HR. Bukhori 158.

[53] HR. Bukhori 164, Muslim no. 226.

[54] HR. Bukhori 186.

[55] Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah di Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab hal.11/I, demikian juga Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah hal. 41.

[56] HR. Abu Dawud no. 107 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[57] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 118/I.

[58] HR. Abu Dawud no. 121, dinyatakan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[59] HR. Muslim no. 234.

[60] HR. Tirmidzi no. 55 dan dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Tirmidzi.

[61] An Nawawi rohimahullah mengatakan, “yang dimaksud dengan tidak berbicara diantara keduanya yaitu tidak berbicara dalam masalah dunia yang tidak ada hubungannya dengan sholat”. [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 103/III]

[62] HR. Bukhori no. 159, Muslim no. 226.


Tata Cara Sholat

Niat di dalam Hati

Niat letaknya di hati, tidak diucapkan. Niat dalam sholat membedakan antara sholat sunnah dengan sholat wajib, dan antar sholat wajib satu dengan sholat wajib yang lain.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan dalam kitab al-Umm:

وَالنِّيَّةُ لَا تَقُومُ مَقَامَ التَّكْبِيرِ وَلَا تَجْزِيهِ النِّيَّةُ إلَّا أَنْ تَكُونَ مَعَ التَّكْبِير لَا تَتَقَدَّمُ التَّكْبِيرَ وَلَا تَكُونُ بَعْدَهُ

Niat itu tidak bisa menggantikan takbir. Tidak sah niat kecuali dilakukan bersamaan dengan takbir. Tidak mendahului takbir, tidak pula setelah takbir (al-Umm (2/224)).

Ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah tersebut menunjukkan bahwa tidaklah mungkin niat diucapkan, karena ia bersamaan dengan pengucapan takbir. Saat seseorang mengucapkan takbiratul ihram, di saat bersamaan hatinya meniatkan sholat yang sedang dikerjakan.
Membaca Takbiratul Ihram

Ucapan pembuka dalam sholat adalah takbiratul ihram: Allaahu Akbar

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

Kunci sholat adalah bersuci, yang mengharamkan (dari berbagai ucapan dan perbuatan di luar sholat) adalah takbir, dan yang menghalalkannya (dari berbagai ucapan dan perbuatan di luar sholat) adalah salam (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah, dari Ali bin Abi Tholib)

Gerakan Mengangkat Kedua Tangan Saat Bertakbir atau Tasmi’

Mengangkat kedua tangan sejajar bahu (atau sejajar telinga) saat takbiratul ihram, takbir menuju ruku’, bangkit dari ruku’, dan bangkit dari tasyahhud awal.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ

Dari Ibnu Umar –semoga Allah meridlai keduanya (ia dan ayahnya)- bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam (dalam sholat) mengangkat tangan sejajar bahu ketika memulai sholat, takbir untuk ruku’, demikian juga ketika mengangkat kepala dari ruku’ dan berkata : Sami’allaahu liman hamidah robbanaa wa lakal hamdu. Beliau tidak melakukan itu (mengangkat tangan saat takbir) pada waktu sujud (H.R alBukhari dan Muslim)Telapak tangan yang diangkat menghadap ke arah kiblat:

فَكَانَتْ يَدَاهُ مِنْ أُذُنَيْهِ عَلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي اسْتَقْبَلَ بِهِمَا الصَّلَاةَ

Kedua tangan Nabi dari kedua telinganya berada dalam posisi menghadap ke arah kiblat (H.R anNasaai dari Waail bin Hujr, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)

Gerakan Bersedekap Saat Berdiri

Setelah gerakan tangan saat takbir ini, kemudian posisi tangan adalah bersedekap meletakkan telapak tangan kanan di atas telapak tangan kiri.

عَنْ وَائِل بْن حُجْرٍ أنه قال: قُلْتُ : لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي ، فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَقَامَ فَكَبَّرَ وَرَفَعَ يَ

دَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَىظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ

Dari Wa-il bin Hujr –radhiyallahu anhu- bahwasanya beliau berkata: Saya melihat pada sholat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bagaimana beliau sholat. Saya melihat pada beliau, beliau berdiri bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar kedua telinganya. Kemudian beliau meletakkan telapak tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan lengan bawah (H.R Abu Dawud, anNasaai, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, din/yatakan sanadnya shahih oleh anNawawy dan al-Albany)
Posisi bersedekap telapak tangan diletakkan di dada:

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَوَضَعَ يَدَهُ اْليُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ

_dari Wa-il bin Hujr ia berkata: Aku sholat bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan beliau meletakkan tangan kanan pada tangan kiri pada dadanya (H.R Ibnu Khuzaimah, di dalam sanadnya terdapat perawi yang lemah hafalannya yaitu Muammal bin Ismail yang buruk hafalannya, namun dikuatkan dengan jalur lain yang mursal riwayat Abu Dawud dari Thowus dan juga al-Bazzar dari Waail bin Hujr)

عَنْ طَاوُسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ

Dari Thowus beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri kemudian menguatkannya pada dada saat beliau sholat (H.R Abu Dawud dengan sanad yang hasan hingga Thowus)
Dalam riwayat al-Bazzaar dinyatakan:

…ثُمَّ وَضَعَ يَمِيْنَهُ عَلَى يَسَارِهِ عِنْدَ صَدْرِهِ

… kemudian beliau (Nabi) meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri pada dada (H.R al-Bazzar dari Wa-il bin Hujr, di dalam sanadnya terdapat perawi yang lemah (Muhammad bin Hujr) dan perawi yang tidak dikenal (ibu Abdul Jabbar bin Wa-il))

Membaca Doa Istiftah

Setelah bacaan takbiratul ihram adalah membaca salah satu dari doa istiftah yang disunnahkan. Misalkan doa istiftah Umar bin al-Khotthob radhiyallahu anhu riwayat Muslim. Bacaan istiftah ini yang dinilai sebagai bacaan paling utama yang dipilih al-Imam Ahmad.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

“Maha Suci Engkau Ya Allah dan (bersamaan dengan itu) aku memujiMu dan sungguh banyak barokah yang terkandung pada NamaMu, dan Maha Tinggi KeagunganMu, dan tidak ada sesembahan yang haq selainMu “ (H.R Muslim dari Umar bin al-Khoththob)


Membaca Taawwudz

Kemudian membaca taawwudz sebelum membaca al-Fatihah. Salah satu bacaan taawwudz yang disunnahkan adalah sebagaimana hadits dari Abu Said al-Khudriy riwayat Abu Dawud, atTirmidzi:

أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ اْلعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ

“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syaitan yang terkutuk dari bisikan was-wasnya, tiupannya, dan ludahnya (H.R Abu Dawud,atTirmidzi, dishahihkan Ibnu Khuzaimah)

Tidak Mengeraskan Bacaan Basmalah

Kemudian membaca al-Fatihah. Disunnahkan tidak mengeraskan bacaan basmalah. Bacaan basmalah oleh Imam dibaca sirr (lirih, tidak diperdengarkan secara keras).

وَعَنْ قَتَادَةَ أَنَّهُ كَتَبَ إِلَيْهِ يُخْبِرُهُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ حَدَّثَهُ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) لاَ يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِى أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلاَ فِى آخِرِهَا

Dan dari Qotadah bahwasanya ia menulis khabar kepadanya dari Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya- menceritakan kepadanya : Aku sholat di belakang Nabi shollallahu alaihi wasallam, Abu Bakr, Umar, dan Utsman mereka memulai bacaan (alFatihah) dengan Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamiin tidak menyebutkan Bismillahirrohmaanirrohim di awal bacaan ataupun di akhirnya (H.R Muslim)

Membaca al-Fatihah

Setelah itu membaca al-Fatihah dan membaca Aamin. Bacaan al-Fatihah adalah salah satu rukun dalam sholat.

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak ada sholat bagi yang tidak membaca surat alFatihah (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shomit)

إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه

Jika Imam mengucapkan Aamiin, maka ucapkanlah Amiin. Karena barangsiapa yang ucapannya aminnya bersesuaian dengan ucapan amin Malaikat, akan diampuni dosanya yang telah lalu (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Membaca Surat Lain Setelah al-Fatihah
Setelah membaca al-Fatihah, disunnahkan membaca surat-surat lain dalam alQuran pada 2 rokaat yang pertama.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقْرَأُ فِى الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ وَيُسْمِعُنَا الآيَةَ أَحْيَانًا وَيَقْرَأُ فِى الرَّكْعَتَيْنِ الأُخْرَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

dari Abdullah bin Abi Qotaadah dari ayahnya bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam pada dua rokaat awal sholat Dzhuhur dan Ashar membaca al-Fatihah dan surat. Kadangkala beliau memperdengarkannya kepada kami. Dan di dua rokaat terakhir beliau membaca al-Fatihah (saja) (H.R Muslim)

Gerakan dan Bacaan Ruku’

Kemudian bertakbir dengan mengangkat tangan untuk melakukan ruku’. Gerakan ruku’ adalah membungkuk dan meletakkan jari jemari tangan yang direnggangkan ke lutut.

عَنْ وَابِصَةَ بْنَ مَعْبَدٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فَكَانَ إِذَا رَكَعَ سَوَّى ظَهْرَهُ حَتَّى لَوْ صُبَّ عَلَيْهِ الْمَاءُ لَاسْتَقَرَّ

Dari Wabishoh bin Ma’bad beliau berkata: Saya melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sholat, jika beliau ruku’ meluruskan punggungnya. Hingga jika seandainya dituangkan air di atas punggung beliau, niscaya airnya akan diam (tidak mengalir)(H.R Ibnu Majah, dishahihkan al-Albany – dikuatkan dengan jalur lain dari Ibnu Abbas riwayat Abu Ya’la)

وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ

Jika beliau ruku’, beliau meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya (H.R al-Bukhari dari Abu Humaid as-Sa’idiy)

إِذَا رَكَعَ فَرَّجَ أَصَابِعَهُ وَإِذَا سَجَدَ ضَمَّ أَصَابِعَهُ

Jika beliau ruku’ merenggangkan jari jemarinya, dan jika sujud merapatkan jari jemarinya (H.R atThobarony, dinyatakan sanadnya hasan oleh al-Haitsamy, dishahihkan al-Albany)

Dalam posisi ruku’, membaca salah satu doa ruku’, di antaranya: Subhanaa Robbiyal Adzhiim minimal sekali.

ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيم

Kemudian beliau ruku’ membaca Subhaana Robbiyal Adzhiim (H.R Muslim dari Hudzaifah)

Bacaan Tasmi’ (Sami’allaahu Liman Hamidah)

Setelah itu, bangkit dari ruku’ dengan mengucapkan Sami’allaahu liman hamidah (tasmi’) bagi Imam dan orang yang sholat sendirian. Sedangkan makmum mengucapkan Robbanaa wa lakal hamdu menyambut ucapan tasmi’ dari Imam.

وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ »

dan jika Nabi mengangkat kepalanya dari ruku’ mengucapkan: Sami’allahu liman hamidah (H.R Muslim dari Malik bin al-Huwairits)

وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

dan jika (Imam) mengucapkan Sami’alaahu liman hamidah, maka ucapkanlah Robbanaa wa lakal hamdu (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)


Dalam posisi i’tidal berdiri tegap dengan tangan di samping tubuh mengucapkan do’a i’tidal. Salah satu doa’ i’tidal adalah: Robanaa wa lakal hamdu hamdan katsiiron thoyyiban mubaarokan fiihi.

كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهَ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ مَنِ اْلمُتَكَلِّمُ قَالَ أَنَا قَالَ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّل

“Pada suatu hari kami sholat di belakang Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam ketika beliau mengangkat kepala dari ruku’ beliau mengucapkan : Sami’allaahu liman hamidah. Salah seorang yang berdiri di belakang beliau mengucapkan : Robbanaa walakal hamdu hamdan katsiiron thoyyiban mubaarokan fiihi. Ketika selesai sholat, beliau bertanya : ‘Siapakah tadi yang mengucapkan ? Laki-laki itu menjawab: Saya. Rasul bersabda : ‘Aku melihat (sekitar) 33-39 Malaikat berebut siapa di antara mereka yang duluan mencatat (amal kebaikan bacaan itu)” (H.R AlBukhari)

Turun Menuju Sujud

Kemudian bertakbir tanpa mengangkat kedua tangan menuju sujud. Saat turun menuju sujud, mendahulukan lutut.

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Dari Wa-il bin Hujr –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Saya melihat Nabi shollallahu alaihi wasallam jika sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan jika bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum lututnya (H.R Abu Dawud no 713 dengan 2 jalur riwayat yang saling menguatkan- demikian dinyatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad)

وَانْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ حَتَّى سَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ

dan beliau (Nabi) turun dengan bertakbir hingga kedua lututnya mendahului kedua tangannya (H.R al-Hakim, dinyatakan sanadnya shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim, padahal di dalamnya terdapat perawi al-Alaa’ bin Ismail yang majhul, namun bisa menjadi penguat jalur periwayatan sebelumnya yang diriwayatkan Abu Dawud)

Perbuatan mendahulukan lutut sebelum tangan pada saat turun menuju sujud adalah pendapat Jumhur Ulama’ (Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad) dan diriwayatkan sebagai perbuatan Sahabat Nabi Umar bin al-Khoththob dan Ibnu Mas’ud

أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ

Sesungguhnya Umar meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan (riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Ibrahim anNakho-i, dikuatkan dengan riwayat atThohawy dalam syarh Ma’aaniy al-alAtsar bahwa Ibrahim mendengar khabar tersebut dari Alqomah dan al-Aswad)

حُفِظَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رُكْبَتَيْهِ كَانَتَا تَقَعَانِ إلَى الْأَرْضِ قَبْلَ يَدَيْهِ

Telah dihafal dari (perbuatan) Ibnu Mas’ud bahwasanya beliau mendahulukan kedua lutut ke tanah sebelum kedua tangan (riwayat atThohawy dalam syarh Ma’aniy al-Atsar dari Ibrahim anNakho’i)

Gerakan dan Bacaan Sujud

Gerakan sujud yang harus dilakukan adalah sujud pada 7 anggota sujud.

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ

Aku diperintah untuk sujud pada 7 tulang: dahi (beliau mengisyaratkan pada hidung) dan kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung-ujung jari kaki (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)

Ditegaskan dalam riwayat lain bahwa hidung harus menyentuh bumi (tempat sujud)

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَمَسَّ أَنُفُهُ اْلأَرْضَ

Tidak ada sholat bagi orang yang hidungnya tidak menyentuh bumi (H.R al-Hakim, dinyatakan oleh al-Hakim bahwa hadits tersebut sesuai syarat al-Bukhari disepakati al-Albany)
Jari jemari tangan dirapatkan diarahkan ke kiblat, ujung jari kaki juga dihadapkan ke kiblat.

كاَنَ إِذَا سَجَدَ ضَمَّ أَصَابِعَهُ

(Nabi) jika sujud, merapatkan jari jemarinya (H.R al-Hakim, dinyatakan sesuai syarat Muslim oleh adz-Dzahaby)

…مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَة

Dalam sujud Nabi menghadapkan ujung-ujung jarinya ke kiblat (H.R al-Hakim dari Aisyah, disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahaby: sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim)

Meletakkan kedua tangan di samping tubuh sejajar dengan bahu.

ثُمَّ سَجَدَ فَأَمْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتَهُ وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ

Kemudian beliau sujud sehingga memungkinkan hidung dan dahinya (menempel pada tanah), dan beliau menjauhkan kedua tangan dari kedua sisinya, dan meletakkan kedua telapak tangan sejajar bahu (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, dari Abu Humaid, dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Disunnahkan saat sujud agak menjauhkan posisi tangan dari samping tubuh, kecuali jika di kiri kanan ada orang lain.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَالِكٍ ابْنِ بُحَيْنَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى فَرَجَ بَيْنَ يَدَيْهِ حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

dari Abdullah bin Malik bin Buhainah bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam jika sholat merentangkan kedua tangan (di sisi tubuh) hingga terlihat putihnya ketiak beliau (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Tidak menempelkan siku tangan pada tanah/ lantai saat sujud.

إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ

Jika engkau sujud, letakkan kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu (H.R Muslim dari al-Bara’)

Di dalam sujud membaca salah satu bacaan yang diajarkan Nabi, di antaranya adalah: Subhaana Robbiyal A’laa.

ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى

Kemudian Nabi sujud dan Nabi berkata: Subhaana Robbiyal A’laa (Maha Suci Allah Yang Paling Tinggi)(H.R Muslim dari Hudzaifah)

Posisi kedua tumit kaki dilekatkan rapat.

Hal ini berdasarkan hadits Aisyah:

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَكَانَ مَعِى عَلَى فِرَاشِى ، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ :« أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ ، وَبِكَ مِنْكَ ، أُثْنِى عَلَيْكَ لاَ أَبْلُغُ كُلَّ مَا فِيكَ »

Aku kehilangan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam yang sebelumnya tidur di pembaringanku. Ternyata beliau sedang sujud (sholat malam) dengan merapatkan kedua tumitnya, ujung jari kaki menghadap ke arah kiblat. Aku mendengar beliau mengucapkan (dalam sujudnya): A’udzu bi ridhooka min sakhothika wa bi ‘afwika min ‘uquubatika wa bika minka utsnii alayka laa ablughu kulla maa fiika (H.R Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Baihaqy, al-Hakim, disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahabiy, sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim)


Duduk di Antara 2 Sujud
Kemudian bertakbir bangkit dari sujud hingga duduk dengan thuma’ninah (duduk di antara 2 sujud).

ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا

Kemudian bangkitlah dari sujud hingga thuma’ninah (tenang) dalam posisi duduk (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Dalam posisi duduk di antara 2 sujud ini, membaca salah satu doa yang diajarkan Nabi, di antaranya: Allaahummaghfir lii warhamnii wa ‘aafiniiy wahdinii warzuqniy

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَعَافِنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي

Dari Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Nabi shollallahu alaihi wasallam mengucapkan (saat duduk) di antara 2 sujud: Allaahummaghfir lii warhamnii wa ‘aafiniiy wahdinii warzuqniy (Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, berikan afiyat (kesehatan dan keselamatan) kepadaku, berikan aku hidayah, dan berikan aku rezeki (H.R Abu Dawud, dishahihkan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy)

Kemudian bertakbir sujud lagi. Selanjutnya bangkit menuju rokaat kedua.

Cara Bangkit Menuju Rokaat Berikutnya
Saat bangkit menuju rokaat berikutnya, caranya adalah dengan duduk sebentar kemudian bertumpu pada telapak tangan untuk bangkit:

وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ عَنِ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ جَلَسَ وَاعْتَمَدَ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ قَامَ

Dan jika mengangkat kepala dari sujud kedua, beliau duduk dan bertumpu pada tanah kemudian bangkit (H.R Muslim dari Abu Qilaabah yang menceritakan tata cara sholat yang dicontohkan Malik bin al-Huwairits ketika mengajarkan sholat Nabi)

عَنِ الأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ : رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَنْهَضُ فِي الصَّلاَةِ وَيَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ

Dari al-Azraq bin Qoys beliau berkata: Saya melihat Ibnu Umar bangkit dalam sholat bertumpu pada kedua tangannya (riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang baik—para perawinya adalah perawi dalam as-Shahih)

Duduk Tasyahhud Awal
Pada sholat wajib yang berjumlah 3 atau 4 rokaat, pada akhir rokaat kedua sebelum bangkit di rokaat berikutnya, duduk untuk tasyahhud awal.
Gerakan duduk tasyahhud awal adalah duduk iftirasy, yang dijelaskan dalam hadits Waa-il bin Hujr:

فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

Ketika Nabi duduk tasyahhud beliau membentangkan telapak kaki kiri dan meletakkan telapak tangan kiri di atas paha kiri, dan beliau menegakkan telapak kaki kanan (H.R atTirmidzi)

Posisi tangan saat tasyahhud dijelaskan dalam hadits Ibnu Umar:

كَانَ إِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ وَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَقَبَضَ أَصَابِعَهُ كُلَّهَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الَّتِى تَلِى الإِبْهَامَ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى

Jika beliau duduk dalam sholat, beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanan dan menggenggam jarinya seluruhnya dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya yang berada setelah jempol. Beliau juga meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kiri (H.R Muslim)

Saat duduk tasyahhud awal, membaca doa tahiyyat/tasyahhud yang diajarkan Nabi, di antaranya sesuai hadits Ibnu Mas’ud:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّوْرَةَ مِنَ اْلقُرْآنِ فَكَانَ يَقُوْلُ التَّحِيَّاتُ اْلمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ِللهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

“Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengajari kami tasyahhud sebagaimana beliau mengajari surat dalam AlQuran. Beliau membaca : ‘At-Tahiyyaatul Mubaarokaatus Sholawaatu at-Thoyyibaatu lillaahi Assalaamu ‘alaika ayyuhan Nabiyyu warahmatullaahi wabarokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘alaa ‘ibaadillaahis shoolihiin. Asyhadu an laa ilaaha illallaahu wa asyhadu anna muhammadan rosuulullaah’(H.R Muslim)
Kemudian bangkit bertakbir menuju rokaat berikutnya.

Duduk Tasyahhud Akhir
Gerakan duduk tasyahhud akhir secara asal adalah duduk ifitrasy (sama seperti duduk di antara 2 sujud), sebagaimana hadits Waa-il bin Hujr riwayat atTirmidzi di atas pada pembahasan duduk tasyahhud awal. Kecuali pada sholat yang memiliki 2 tasyahhud (ada tasyahhud awal dan tasyahhud akhir), duduknya adalah tawarruk. Hal ini sebagaimana hadits Abu Humaid as-Saa’idiy:

فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ

Jika beliau (Abu Humaid as-Sa’idiy) duduk dalam dua rokaat, beliau duduk di atas (telapak) kaki kiri dan menegakkan (telapak) kaki kanan (iftirasy) dan jika duduk di rokaat terakhir beliau mengedepankan (telapak) kaki kiri dan menegakkan (telapak kaki) yang lain dan duduk pada tempat duduknya (pantat langsung ke tanah/lantai)(H.R al-Bukhari, kisah tentang Abu Humaid mencontohkan tata cara sholat Nabi)

Bacaan dan gerakan tangan saat tasyahhud akhir sama dengan tasyahhud awal. Setelah membaca tasyahhud itu kemudian membaca sholawat kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam. Di antaranya bacaan sholawat yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ , اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

“Ya Allah, bersholawatlah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah bersholawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau adalah Yang Maha Terpuji lagi Maha Agung. Yaa Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau adalah Yang Maha Terpuji lagi Maha Agung“(H.R al-Bukhari dan Muslim dari Ka’ab bin Ujroh)

Doa Setelah Tasyahhud Sebelum Salam
Setelah itu boleh membaca doa apa saja, terutama doa meminta perlindungan dari 4 hal (adzab kubur, adzab Jahannam, fitnah kehidupan dan kematian, serta fitnah Dajjal)

ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ

Kemudian silakan dia memilih doa yang dikehendakinya (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- « إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ».

dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: << Jika salah seorang dari kalian tasyahhud, berlindunglah kepada Allah dari 4 hal. Hendaknya ia mengucapkan: Allaahumma inni a’udzu bika min ‘adzaabi Jahannam wa min adzaabil qobri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min syarri fitnatil masiihid Dajjaal (Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari adzab Jahannam dan dari adzab kubur dan dari ujian kehidupan dan dari ujian kematian dan dari keburukan ujian al-Masiih ad-Dajjaal)(H.R Muslim)

Membaca Salam sebagai Akhir Sholat
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

Dari Abdullah (bin Mas’ud) –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Nabi shollallahu alaihi wasallam mengucapkan salam ke arah kanan dan ke arah kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau: Assalaamu alaikum warahmatullaah… Assalaamu alaikum warahmatullaah…(H.R Abu Dawud)

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ وَعَنْ شِمَالِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

Dari ‘Alqomah bin Waail dari ayahnya ia berkata: Aku pernah sholat bersama Nabi shollallahu alaihi wasallam, beliau mengucapkan salam ke arah kanan: Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokaatuh.. dan ke arah kiri: Assalaamu’alaikum warahmatullaah…(H.R Abu Dawud)
(Abu Utsman Kharisman)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarah Hadist Arba'in 1 | Urgensi Niat - Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc,...

Dauroh 'Mengenal Asma'ul Husna' Sesi 2 - Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.

Perjanjian Yang Kuat Dalam Islam

PERJANJIAN YANG KUAT Diantara perjanjian yang paling kuat adalah pernikahan, karena akad nikah adalah perjanjian dengan nama Allah, dan Allah menyebutnya sebagai perjanjian yang kuat. Allah 'azza wa jalla berfirman, وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا . "Dan isteri-isterimu telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat." [An-Nisa: 21] Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُم أَخَذتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاستَحلَلتُم فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ . “Bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan para wanita, karena kalian telah mengambil mereka (sebagai istri) dengan perjanjian Allah dan menghalalkan hubungan suami istri dengan kalimat Allah.” [HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu’anhu] Dan setiap perjanjian adalah amanah, maka para istri adalah amanah Allah di pundak suami untuk diperlakukan dengan baik, dan kelak Allah 'azza wa jalla akan meminta pertanggung jawaban atas amanah ini di hari kiamat. Al-Ima

Ceramah Singkat : Allah Berikan Dunia Kepada Orang Kafir - Ustadz Dr. Fi...

Kajian Kitab : Syarah Kitab Shahih Bukhari Kajian Ke-30 - Ustadz Dr. Fir...

Apakah Amalan Yang Gugur Bisa Kembali - Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, ...

Kajian Umum : Fiqh Bermedia Sosial - Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, M.A.

Khutbah Jumat : Kemuliaan Sholat Malam - Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc,...

Kajian Sirah Bahtera Nabi Nuh - Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, M.A.

Kajian Umum : Hijrah, Sejarah Dan Ibroh - Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc...